Cobek, Suro, dan Awal yang Bersih: Menjelajah Kearifan di Lereng Sindoro

ABHINAYA
Dipublikasi pada 30 June 2025

Deskripsi

Pernahkah Anda membayangkan, di balik gagahnya gunung-gunung Jawa yang menjulang, tersimpan segudang kisah dan tradisi yang tak lekang oleh zaman? Di lereng Gunung Sindoro, tepatnya di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, ada sebuah tradisi yang bukan hanya unik, tapi juga begitu kaya akan makna filosofis. Sebuah ritual pemberian hadiah yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya: memberi cobek saat menamai anak di bulan Suro.

Bayangkan saja, Anda baru saja menyambut kehadiran buah hati. Keluarga besar berkumpul, aroma nasi tumpeng menguar, doa-doa dilantunkan, dan senyum bahagia terpancar di mana-mana. Ini adalah momen sakral, 'selapanan' atau 'aqiqah', saat nama indah disematkan pada sang permata hati. Namun, di Candimulyo, di tengah kehangatan itu, ada satu adegan yang mencuri perhatian: sesosok kerabat dekat, biasanya kakek atau nenek, datang membawa sebuah cobek batu yang hitam pekat, lengkap dengan ulekannya.

Bukan, ini bukan hadiah untuk memasak nasi goreng spesial. Ini adalah simbol. Sebuah isyarat kuat dari para leluhur yang diwariskan turun-temurun, terutama ketika prosesi penamaan anak itu jatuh di bulan Suro.

Mengapa Bulan Suro?

Bulan Suro (Muharram dalam kalender Islam) bagi masyarakat Jawa adalah bulan yang sarat makna. Konon katanya, ia adalah bulan permulaan, bulan perenungan, dan bulan "pembersihan". Banyak yang memilih untuk tidak menggelar hajatan besar di bulan ini, melainkan fokus pada 'tapa brata', membersihkan diri, dan berserah diri pada Sang Pencipta.

Maka, ketika seorang bayi lahir dan namanya akan disematkan di bulan yang dianggap "suci" ini, ada semacam kebutuhan untuk memastikan bahwa awal kehidupannya pun bersih. Bersih dari segala nasib buruk, bersih dari energi negatif, dan bersih dari segala "kotoran" yang mungkin melekat. Di sinilah peran si cobek masuk.

Cobek: Lebih dari Sekadar Pengulek Bumbu

Bagi kita, cobek mungkin hanyalah alat dapur untuk membuat sambal atau bumbu. Tapi bagi masyarakat Candimulyo, cobek adalah representasi dari sebuah proses. Proses "mengulek" atau "menggiling" sesuatu hingga halus.

Dalam konteks tradisi ini, cobek melambangkan "membersihkan" nasib buruk atau karma negatif. Analogi yang kuat adalah bagaimana kita mengulek bumbu yang kasar hingga menjadi halus dan siap digunakan. Begitu pula harapan untuk sang bayi: segala "kekasaran" atau "ketidakberuntungan" dalam hidupnya kelak, baik yang berbentuk bawaan lahir maupun yang mungkin akan ditemui, diharapkan bisa "dihaluskan" atau "dibersihkan" dengan filosofi cobek ini.

Ini adalah sebuah doa bisu, harapan yang diwujudkan dalam benda nyata. Sebuah harapan agar sang anak terlahir dengan jiwa raga yang bersih, dan dalam perjalanannya kelak, mampu "mengolah" setiap kesulitan menjadi kemudahan, setiap tantangan menjadi pelajaran, layaknya bumbu yang diulek hingga menghasilkan cita rasa terbaik.

Kearifan Lokal yang Menyejukkan Hati

Tradisi memberi cobek ini menunjukkan betapa mendalamnya pemahaman masyarakat lereng Sindoro terhadap kehidupan. Mereka melihat bahwa setiap awal adalah kesempatan untuk memulai dengan lembaran bersih. Mereka percaya bahwa dengan "membersihkan" nasib buruk sejak dini, sang anak akan memiliki pondasi yang kokoh untuk menghadapi masa depan.

Ini juga bukan sekadar ritual tanpa arti. Ada kehangatan, kebersamaan, dan ikatan kekeluargaan yang begitu kuat di baliknya. Setiap cobek yang diberikan adalah simbol kasih sayang, doa, dan harapan dari generasi tua untuk generasi mendatang. Sebuah warisan tak benda yang jauh lebih berharga daripada sekadar material.

Di tengah gempuran modernisasi, Desa Candimulyo di Wonosobo ini tetap teguh memegang tradisi. Ini adalah bukti bahwa kearifan lokal, betapapun sederhananya di mata luar, menyimpan makna yang universal dan abadi. Sebuah pengingat bahwa hidup adalah proses pembersihan yang berkelanjutan, dan setiap awal adalah kesempatan untuk menjadi yang terbaik, sebersih cobek yang siap mengolah bumbu kehidupan.

Jadi, jika Anda suatu saat berkunjung ke Wonosobo, jangan lewatkan kesempatan untuk menyelami kisah-kisah unik yang tersembunyi di balik gagahnya gunung-gunung Jawa. Siapa tahu, Anda akan menemukan cerita cobek lain yang tak kalah mengagumkan.

PLATFORM 

Desa Candimulyo memanfaatkan berbagai platform media, diantaranya Website, media sosial Facebook, Instagram, Youtube dan Tiktok untuk menyampaikan fragmen program kegiatan sebagai sarana edukasi, sosialisasi advokasi dan intervensi program. Dengan menggunakan media analog dan digital, Desa Candimulyo berharap dapat menjangkau lebih luas, membangun sinergitas, aksesibilitas publik dan memaksimalkan program.

 
Sesi Kegiatan Sosial Budaya

Instansi Pembina Kegiatan

Sasaran Kegiatan