Candiroto: Menggali Kisah dari Sebongkah Nama, Antara Batu Candi, Murka Gunung Berapi dan Cerita Leluhur
Deskripsi
Di jantung Wonosobo, di lembah yang dipeluk megahnya Sindoro dan Sumbing, tersemat sebuah nama yang menyimpan misteri dan kisah masa lalu: Candiroto. Nama yang bukan sekadar penanda geografis, melainkan sebuah prasasti etimologis yang mengundang kita menyelami lapisan-lapisan sejarah, bahkan kekuatan alam yang membentuknya. Mari kita telusuri jejak-jejak masa lalu yang terukir dalam untaian aksara ini, seolah berbisik dari kedalaman waktu.
Candiroto: Kisah Candi yang Kembali Ke Bumi
Secara harfiah, nama Candiroto adalah perpaduan dua kata dalam bahasa Jawa yang sarat makna. "Candi" tentu saja merujuk pada bangunan suci, tempat pemujaan yang megah, peninggalan peradaban masa lampau. Ia adalah simbol kekuasaan, keyakinan, dan keindahan arsitektur yang menembus zaman. Sementara itu, "roto" berasal dari kata "rata" yang berarti datar, sejajar, atau kembali ke permukaan tanah.
Maka, secara etimologis, "Candiroto" bisa diartikan sebagai "candi yang rata" atau bahkan "reruntuhan candi yang telah menjadi rata dengan tanah." Sebuah penamaan yang bukan kebetulan, melainkan cerminan akan sebuah peristiwa dramatis. Konon, di lokasi dusun yang kini menjadi bagian dari Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo ini, pernah berdiri sebuah candi. Namun, entah karena usia, bencana, atau faktor lain, candi itu kemudian "diratakan" – bukan sekadar runtuh, melainkan seolah kembali menyatu dengan bumi, meninggalkan jejak yang hanya bisa dibaca melalui nama.
Nama Candiroto, dengan demikian, menjadi penanda abadi bagi sebuah situs yang pernah ada, sebuah pengingat akan kebesaran yang kini tersimpan dalam lapisan-lapisan tanah dan ingatan kolektif masyarakatnya. Ia adalah sebuah narasi tentang kehancuran dan kelahiran kembali, dimana dari reruntuhan sebuah nama baru muncul.
Sindoro dan Sumbing: Saksi Bisu yang Bernafas
Namun, pertanyaan yang lebih dalam muncul: Apa yang meratakan candi itu? Apakah hanya termakan usia, atau ada kekuatan yang lebih besar, kekuatan purba yang ikut campur tangan dalam peristiwa bersejarah ini? Di sinilah kita mencoba menarik benang merah, menghubungkan legenda candi yang rata dengan dua penjaga abadi tanah Wonosobo: Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Bayangkanlah lanskap Wonosobo yang subur, diapit oleh dua raksasa vulkanik ini. Mereka bukan sekadar latar belakang pemandangan, melainkan jantung yang berdetak, membentuk geologi, bahkan mungkin takdir peradaban di bawahnya. Sejarah letusan mereka adalah bagian tak terpisahkan dari riwayat tanah ini.
Gunung Sumbing, misalnya, tercatat pernah memuntahkan amarahnya pada tahun 1730. Sebuah letusan yang cukup signifikan, di mana kubah lava terbentuk di kawah puncak dan aliran lava menuruni bibir kawah terendah. Sebuah peristiwa yang pasti mengguncang bumi, mengubah bentang alam, dan meninggalkan jejak kekuasaan alam yang tak terbantahkan. Bayangkan jika candi itu berdiri di zaman itu, atau bahkan di masa yang lebih purba lagi, di tengah serangkaian letusan dahsyat yang tak tercatat rapi dalam buku sejarah modern.
Kemudian ada Gunung Sindoro, yang terakhir kali "batuk" pada tahun 1970. Letusan itu, meski lebih modern, tak kalah menggetarkan. Langit di sekitar puncaknya memerah, menandakan kekuatan yang dilepaskan dari perut bumi. Meskipun letusan 1970 ini mungkin terlalu 'muda' untuk meratakan candi kuno, keberadaan dan sejarah letusan kedua gunung ini memberikan konteks yang kuat.
Lalu, di mana hubungannya dengan "candi yang rata?"
Meskipun letusan Sumbing 1730 atau Sindoro 1970 secara langsung mungkin tidak menjadi penyebab tunggal "ratanya" candi di Candiroto (mengingat usia tipikal candi jauh lebih tua), eksistensi dan sejarah vulkanik kedua gunung ini tak bisa diabaikan. Bisa jadi, di masa lampau yang jauh, di era sebelum catatan sejarah modern kita, sebuah letusan yang lebih dahsyat, sebuah getaran bumi yang lebih hebat dari salah satu raksasa ini, atau bahkan serangkaian peristiwa geologis yang tak terbayangkan kekuatannya, pernah terjadi. Kekuatan purba itu, dengan lava, abu, atau gempa yang menyertainya, mungkin saja adalah penyebab utama "ratanya" candi yang kini hanya tinggal nama.
Nama Candiroto, dengan demikian, bukan hanya sebuah penanda etimologis sederhana. Ia adalah sebentuk memori kolektif yang terukir dalam bahasa, sebuah kisah yang terhubung erat dengan kekuatan elemen bumi. Ia mengingatkan kita bahwa di bawah permukaan yang tenang, di balik nama-nama yang kita gunakan sehari-hari, selalu ada sejarah yang bernafas, sebuah dialog abadi antara warisan manusia dan kekuatan alam yang tak terbatas. Candiroto, sebuah nama yang mengajak kita untuk tidak sekadar melihat, tetapi merasakan dan merenungkan setiap lapisan kisah yang terkandung di dalamnya.
PLATFORM
Desa Candimulyo memanfaatkan berbagai platform media, diantaranya Website, media sosial Facebook, Instagram, Youtube dan Tiktok untuk menyampaikan fragmen program kegiatan sebagai sarana edukasi, sosialisasi advokasi dan intervensi program. Dengan menggunakan media analog dan digital, Desa Candimulyo berharap dapat menjangkau lebih luas, membangun sinergitas, aksesibilitas publik dan memaksimalkan program.