Gambaran Umum
Bening embun terlihat jelas di pepohonan kiri kanan jalan menuju Perkampungan Desa Gunung Sugih Besar, pertengahan bulan lalu. Seorang Lelaki paroh baya memakai topi diatas gerobak sapi dengan memegang sebilah kayu pecutan melintas menuju ke ladang meskipun matahari dipagi itu belum menampakkan cahaya terang secara utuh.
Kampung itu bernama Gunung Sugih Besar, adalah sebuah kampung tua yang dihuni oleh 99 persen suku asli lampung secara turun temurun sejak ratusan tahun silam. Desa Gunung Sugih dalam tatanan adnminstrasi berada di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung yang dulu terkenal sebagai kawasan penghasil lada.
Satu hal yang ingin penulis tekan kan dalam tulisan ini, betapa penduduk desa ini sampai sekarang tetap menjunjung tinggi adat istiadat sebagai salah satu warisan budaya nenek moyang. Suatu hal kebanggaan tentunya ditengah gempuran budaya luar yang menyerang dari segala sisi melalui perkembangan teknologi.
Mungkin, membicarakan tentang Adat di Desa Gunung Sugih Besar di tengah gempuran budaya massa yang telah masuk jauh ke seluruh ruang kesadaran hidup kita, jelas bukanlah persoalan yang mudah. Bagi mereka yang berusia di atas 50 tahun, mungkin adat yang diterapkan di Desa Gunung Sugih adalah sebuah kebanggaan.
Mereka terlahir ketika mall, diskon, budaya pop, MTV, dan sejenis produk budaya massa belum menusuk masuk sampai ke sendi-sendi kehidupan. Tapi tentu berbeda bagi mereka yang kini masih berusia 20 tahun, jelas, Adat Lampung terutama di Desa Gunung Sugih Besar adalah sebuah kealpaan.
Bagi anak muda di kampung Gunung Sugih, adat istiadat adalah suatu keharusan untuk dipatuhi dan dijunjung setinggi mungkin, walaupun mereka tidak mengtahui asal mulanya. Yah .... aturan itu bernama adat yang bisa menghukum siapapun warga Gunung Sugih jika dilanggar. Hukum adat dijunjung tinggi oleh penduduk kampung, walaupun para pemegang adat atau dalam istilah lampung disebut penyimbang adat, tak pernah melakukan sosialisasi di kalangan pemuda.
Hal itu tentu menjadikan kekaguman, meskipun hukum adat itu tidak disosialisasikan dikalangan warga kampung terutama pemuda di kampung itu sebagai generasi penerus. Tetapi seluruh warga menghormati dan patuh atas ketetapan adat tanpa terkecuali. Itu lah ketetapan adat di desa Gunung Sugih Besar telah menjadi identitas kampung.
Salah satu ketentuan adat yang masih dijunjung tinggi di kampung itu, diberlakukan denda harus menyembelih seekor hewan kurban dalam hal ini sapi sebagai ritual pembersih bumi. Denda itu ditetapkan bagi pemuda kampung yang telah menikah dimana diketahui isteri terlebih dahulu hamil.
Berkaitan dengan hukum adat satu ini, jika bersangkutan tidak mematuhinya, maka sanksi adat akan berlaku dalam bentuk pengucilan seperti tidak boleh mengikuti apapun kegiatan adat di kampung tersebut, memang hanya sebatas sanksi sosial, namun cukup memberatkan bagi warga Kampung karena harus menanggung malu. Budaya ‘malu’ masih dijunjung tinggi di kampung Gunung Sugih Besar yang diletakkan diatas segalanya.
Tetapi ironis ditengah adat yang masih dipegang teguh terutama berkaitan dengan norma agama Islam seperti perzinahan, ada satu hal yang terlupakan hingga membuat penulis prihatin yakni merajalelanya perjudian di kampung itu. Kalangan tokoh adat, pamong desa maupun kepolisian seolah diam seribu muslihat atas kondisi itu.
Menjadi pertanyaan penulis, apa perbedaan dosa zinah dengan judi maupun minuman keras yang kini merajalela di Kampung itu, untuk dipahami sanksi yang diterima oleh pelaku ‘zinah’ itu cukup berat harus menanggung malu sampai keturunannya. Sementara perjudian, dan minuman keras membudaya sendiri bagaikan dua mata pisau yang berbeda. Bahkan dampaknya lebih buruk dari perzinahan.
Kami tetap butuh identitas Lampung, penulis bangga sebagai putra kampung Gunung Sugih Besar, yang dididik ditengah adat dengan penekanan rasa malu yang tinggi untuk hal negatif, sehingga menjadi identitas diri dalam pergaulan dimana pun berada ditengah globalisasi orang berbicara tentang penyeragaman.
Dari kampung tua itu, banyak mencetak generasi penerus diberbagai kalangan yang turut menjaga budaya bangsa. Harapan kami tentu mendapat perhatian dari pemerintah daerah, dalam menjaga warisan budaya. Sehingga penyimbang dapat lebih mengenalkan budaya kepada kalangan muda yang kini lebih mengenal budaya eropa ketimbang budaya desa.
Banyak adat istiadat yang hingga kini masih terjaga tetapi tidak sedikit pula mulai terkikis untuk dilupakan di tengah gempuran globalisasi. Tak ada lagi, istilah ngayak, presidenan, Dikir yang selalu ada disetiap pernikahan ketika tahun 90-an. Acara adat itu terkikis oleh musik fungky, dan acara modernisasi lainnya. Menjadi pertanyaan dimanakah peran penyimbang di kampung ku, dalam mempertahankan budaya adat yang mulai tergerus.
Menurut pendapat para ahli seperti dikemukakan, Soekanto Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum. Tetapi menurut penulis tidak ada salahnya jika para pemegang adat yang ditunjuk maupun dipercaya tersebut melakukan sosialisasi dikalangan pemuda sehingga aturan adat bisa masuk kedalam sendi mereka untuk terus dipegang teguh dalam kehidupan sehari hari.
Sedangkan Prof. Mr. B. Terhaar Bzn, menegaskan Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan – keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat – istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kampung Itu Bernama ‘Gunung Sugih Besar’", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/amin_muhammad/54f990f1a3331115568b45db/kampung-itu-bernama-gunung-sugih-besar
Kreator: Muhamad Amin
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
Statistik Kampung
Jumlah Jiwa 5209
Jumlah Kepala Keluarga 1523
Jumlah PUS 882
Keluarga yang Memiliki Balita 395
Keluarga yang Memiliki Remaja 135
Keluarga yang Memiliki Lansia 344
Jumlah Remaja 821
Total
694Total 188
Status Badan Pengurus

Sarana dan Prasarana

BKB
Bina Keluarga Balita (BKB)
Ada

BKR
Bina Keluarga Remaja (BKR)
Ada

BKL
Bina Keluarga Lansia (BKL)
Ada

UPPKA
Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA)
Ada

PIK R
Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK R)
Ada

Sekretariat KKB
Sekretariat Kampung KB
Ada

Rumah Dataku
Rumah Data Kependudukan Kampung KB
Ada
Dukungan Terhadap Kampung KB
Sumber Dana |
Ya,
Donasi/ Hibah Masyarakat Swadaya Masyarakat |
Kepengurusan/pokja KKB | Ada |
SK pokja KKB | Ada |
PLKB/PKB sebagai pendamping dan pengarah kegiatan |
Ada,
Yondi Triawan, S.Kom 198604082022211007 |
Regulasi dari pemerintah daerah |
Ada,
SK Kecamatan tentang Kampung KB SK Kepala Desa/Lurah tentang Kampung KB |
Pelatihan sosialisasi bagi Pokja KKB | Ada |
Jumlah anggota pokja yang sudah terlatih/tersosialisasi pengelolaan KKB |
10 orang pokja terlatih dari 10 orang total pokja |
Rencana Kegiatan Masyarakat | Ya |
Penggunaan data dalam perencanaan dan evaluasi kegiatan |
Ya,
PK dan Pemutahiran Data Data Rutin BKKBN Potensi Desa |
Mekanisme Operasional
Rapat perencanaan kegiatan | Ada, Frekuensi: Bulanan |
Rapat koordinasi dengan dinas/instansi terkait pendukung kegiatan | Ada, Frekuensi: |
Sosialisasi Kegiatan | Ada, Frekuensi: |
Monitoring dan Evaluasi Kegiatan | Ada, Frekuensi: |
Penyusunan Laporan | Ada, Frekuensi: |